Christina Finarsih, Anak Godean Jadi Bintang di Hong Kong

By Rabu, 4 November 2015 | 16:33 WIB
Christina Finarsih, mendapat nama panggilan
No credit
Christina Finarsih, mendapat nama panggilan

Final Piala Uber 1996, Indonesia bertemu Cina di Hong Kong. Christina Finarsih tampil sebagai ganda kedua bersama Lily Tampi menghadapi pasangan Qin Yiyuan/ Tang Yongshu. Saat itu Indonesia sudah unggul 2-1. Bila menang, Indonesia bakal mempertahankan gelar.

Tampil sebagai penentu, Finarsih bermain kesetanan. Lawannya pun dihabisi 15-9, 15-10. Usai meraih poin terakhir yang memastikan Piala Uber kembali ke Indonesia. Finarsih langsung berpelukan dengan Lily Tampi. Pemain dan ofisial pun menyerbunya.

Mempertahankan Piala Uber 1996 menjadi salah satu pencapaian terbaik Finarsih sejak menghuni pelatnas bulu tangkis pada 1990. Bersama Lily Tampi, dia pernah menjadi ganda putri terbaik dan peringkat pertama dunia serta tampil dua kali di Olimpiade Barcelona 1992 dengan hasil perempat final, dan Atlanta 1996 dengan mencapai 16 besar.

“Semua karena kuasa Tuhan. Saya tak pernah bermimpi menjadi pemain nasional saat menekuni bulu tangkis. Saya bermain karena menyukai olah raga itu. Keluarga saya pun bukan dari lingkungan atlet. Kami menyukai bulu tangkis seperti orang kebanyakan karena olah raga itu memang merakyat,” ungkap ibu satu anak kelahiran Godean, Yogyakarta, ini.

Talenta Fina, sapaannya, terlihat oleh seorang guru saat mengikuti Porseni SD. Mendapat saran itu, ayahnya pun memasukkan Finarsih ke sekolah bulu tangkis PB Sinar Mataram pada 1982. Perjuangan keras pun dijalani Finarsih. Setiap latihan di kawasan Kridosono, dia harus menempuh jarak sampai 25 km dengan bersepeda.

“Saya bertekad berlatih meski harus bersepeda dengan jarak jauh. Soalnya, ayah hanya petani meski juga staf TU di sekolah. Bayar PB itu tidak murah. Untuk nyenar harus menunggu ayah gajian. Karena itu, saya tak menyerah,” jelasnya.

Saat libur, Finarsih tetap berlatih sendirian di rumah. Latihannya? Berlari mengelilingi sawah setiap pagi dan sore.

Finarsih menolak menyerah meski jarak tempat latihan bertambah jauh saat dia dinyatakan lulus sekolah bulu tangkis dan masuk ke PB. Finarsih pun harus kos sejak kelas 1 SMP. Dia tak hanya berpisah dengan keluarga, tapi kadang mendapat cibiran dari tetangga desa.

“Latihan bulu tangkis pagi sore, itu yang dicari apa? Cibiran seperti itu malah membuat saya makin bersemangat meski saya tidak tahu untuk apa bermain bulu tangkis kecuali karena menyukainya saja,” kata Finarsih.

Kariernya mulai terentang saat Finarsih tampil di kejurnas junior di Surabaya pada 1983. Usai kejurnas, dia ditawari masuk Pusdiklat Ardath di Jember. Ayahnya sempat ragu karena harus melepas Finarsih yang masih berusia 11 tahun.


Editor :
Sumber : 28-29 Juli 2012, BOLA Edisi 2383/Sabtu-Minggu


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X