Ramadan yang Mencekam di Paris

By Ubaidillah Nugraha - Sabtu, 11 Juni 2016 | 18:16 WIB
Grand Mosque de Paris selalu penuh saat berbuka puasa.
UBAIDILLAH NUGRAHA/JUARA.net
Grand Mosque de Paris selalu penuh saat berbuka puasa.

Suasana ibadah puasa dan Ramadan juga dirasakan di Prancis, tuan rumah Piala Eropa 2016. Bagaimana suasana Ramadan di Paris? 

Laporan langsung Ubaidillah Nugraha langsung dari Paris, Prancis. 

Binevenue de Ramadhan! 

Prancis adalah salah satu negara Eropa dengan konsentrasi warga muslim terbesar di Eropa Barat, sekitar hampir 10 persen dari total populasi atau atau jumlah pemeluk agama kedua terbesar setelah Katolik. Tidak kurang ada 5-6 juta muslim di sana, tidak hanya warga keturunan Aljazair, Maroko, Tunisia dan Turki tetapi warga dari berbagai negara lain yang berimigrasi.

Peran warga muslim pun semakin diperhitungkan apalagi dengan terpilihnya Najat Vallaud-Belkacem di kabinet Francois Hollande sebagai menteri pendidikan dan perempuan muslim pertama di posisi tersebut.

Bulan Juni ini, Ramadan datang ke Paris membawa kembali memori-memori penulis saat berpuasa jauh dari tanah air.

Tidak seperti pengalaman-pengalaman berpuasa di negara-negara yang mayoritas nonmuslim lain seperti Swiss, Selandia Baru, Amerika Serikat, Singapura, ataupun Australia, kali ini penulis mengalami hal yang lain yang belum pernah dialami sebelumnya.

Penulis bisa merasakan suasana di Grand Mosque de Paris yang terletak di kawasan Quartier de Latin. Masjid yang menjadi salah satu ikon Islam di Perancis ini bukan saja menjadi rumah tempat berkumpul kaum muslimin tetapi dengan arsitektur arab-andalusianya yang mencolok membuatnya menjadi kunjungan wisatawan yang datang ke Paris.

Publikasi New York Times bulan Mei 2016 secara khusus mengulasnya dalam tajuk “Seven Places in Europe We Call Home”. Bangunan tersebut telah hadir cukup lama, sejak tahun 1922 sebagai penghargaan dari pemerintah Prancis kepada para tentara muslim terutama dari Aljazair yang gugur di medan perang membela negara.

Kehadiran satu restoran Maroko yang persis berada di samping gerbang mesjid, para pengunjung pun bisa menikmati teh mint dan kuskus yang memanjakan lidah

Hanya, Ramadan hari pertama ketika penulis datang ke masjid dengan perasaan yang agak mencekam. Tidak ditemukan banyak senyum kali ini, tidak sedikit pengunjung masjid yang datang sekadar untuk mendapatkan penganan berbuka (terlihat dari cukup banyaknya yang masih menikmati iftar pada saat salat Magrib sampai selesai bahkan pulang setelah itu).

Hal ini menyebabkan prosesi pembagian iftar terlihat cukup padat dan berdesak-desakan sehingga tidak sedikit orang tua yang tidak mendapatkan makanan secara lengkap. Ruang dalam pun terlihat banyak tas plastik berisi pakaian yang tergantung menandakan masjid menjadi rumah bagi sebagian warga terutama migran. Setelah selesai salat tarawih dapat dirasakan konfirmasi dari banyaknya tentara yang menjaga di luar mesjid.

Ada beberapa sebab yang mungkin kalau dirunut-runut menjadi beberapa pemicu. Tragedi Paris tahun lalu masih cukup membekas untuk negara tersebut dan masih cukup sering diperbincangkan sampai sekarang.

Derasnya migran yang datang ke negara tersebut dalam setahun terakhir (Prancis termasuk negara yang paling terbuka menerima migran Suriah dibandingkan dengan banyak negara Eropa lainnya) dan tentunya juga pengamanan yang ketat terkait dengan penyelenggaraan Piala Eropa 2016 yang akan dilaksanakan selama sebulan penuh di bulan Juni-Juli.

Baca Juga:

Meskipun demikian, rasa tidak nyaman tersebut tidak bisa mengalahkan rasa syahdu menjalankan ibadah baik dari saat berbuka, Magrib sampai pelaksanaan Tarawih. Dengan penganan kurma, roti dan keju pada saat iftar dan dilanjutkan dengan berbuka dengan sup dan kebab khas Mediterania paling tidak sedikit kerinduan berbuka dengan saudara-saudara muslim dari berbagai belahan dunia sedikit terobati.

Pengalaman ramadhan tahun 2016 yang kali ini penulis rasakan di Paris menunjukkan bahwa keber-Islam-an memang memiliki tantangannya sendiri tidak saja karena waktu berpuasa yang cukup panjang (hampir 19 jam) di banyak negara Eropa tetapi juga rasa aman yang meningkat eskalasinya. Akan tetapi, semua rasa tidak nyaman, mencekam, takut pupus demi memenuhi panggilan sang Khalik.


Editor : Jalu Wisnu Wirajati
Sumber : juara


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X