Stadion, Pelatih, dan Andrea Pirlo

By Sabtu, 29 Oktober 2016 | 13:51 WIB
pelatih Juventus, Antonio Conte merayakan kemenangan dengan Andrea Pirlo pada akhir laga Serie A melawan AC Milan 02 Oktober 2011.
MARCO LUZZANI/GETTY IMAGES
pelatih Juventus, Antonio Conte merayakan kemenangan dengan Andrea Pirlo pada akhir laga Serie A melawan AC Milan 02 Oktober 2011.

Dalam perjalanan menuju Deutschland 2006, Juventus sedang mendominasi Serie A. Tim Zebra menjuarai kompetisi musim 2004-2005 dan 2005-2006.

Penulis: Sapto Haryo Rajasa

Sepanjang kualifikasi dan putaran fi nal Piala Dunia 2006, pemain-pemain I Bianconeri, seperti kiper Gianluigi Buffon, bek Fabio Cannavaro dan Gianluca Zambrotta, gelandang Mauro Camoranesi, serta penyerang Alessandro Del Piero, terus menjadi andalan timnas Italia, yang ketika itu dilatih oleh Marcello Lippi.

Generasi 2006 sangat terkenal bukan hanya karena kualitas dan dominasi mereka dalam memberikan gelar bagi klub serta timnas, tapi juga karena calciopoli.

Juventus menjadi tertuduh utama dalam skandal pengaturan penunjukan wasit di Serie A yang dilakukan oleh Direktur UImum Bianconeri ketika itu, Luciano Moggi.

Kasus itu meledak saat timnas Italia sedang berjuang di babak-babak akhir Piala Dunia 2006. Menjelang semifi nal melawan Jerman, jaksa FIGC, Stefano Palazzi, justru mendesak supaya Juventus didegradasi minimal ke Serie C1.

Gelar scudetto 2004/05 dan 2005/06 juga diminta dicopot, sementara sejumlah pemain menghadapi ancaman skorsing.

Manajer Juve saat itu, Gianluca Pessotto, bahkan sampai mencoba bunuh diri karena begitu besarnya tekanan. Namun, di tengah permasalahan, generasi 2006 justru bersatu dan membawa Italia menjadi kampiun.

Buffon dan Cannavaro terutama menjadi pahlawan. Mereka terpilih masuk ke dalam All-Star Team Jerman 2006.

Cannavaro sendiri terbilang terlambat bergabung dengan Juventus. Dia lama beredar bersama Napoli (1992-1995), Parma (1995-2002), dan Internazionale Milan (2002- 2004). Bek bertinggi 176 cm ini baru pindah ke Juve pada musim panas 2004, saat sudah berusia 30 tahun.

Di Juventus, Cannavaro berjumpa lagi dengan bekas rekannya di Parma, Gianluigi Buffon dan Lilian Thuram. Tiga orang ini menciptakan salah satu lini belakang paling menakutkan di Serie A.

Pada musim kompetisi 2004/05 dan 2005/06, Juventus selalu menjadi pemilik pertahanan terbaik.

Canna hampir selalu bermain dalam laga-laga I Bianconeri. Dia dalam trek menjadi salah satu bek terbesar yang pernah dimiliki Juventus. Namun, harapan melihat Cannavaro memperkuat Tim Zebra dalam waktu yang lama musnah.

Calciopoli merusak segalanya. Pada akhirnya, tim yang fantastis itu terpecah belah. Sebagian memutuskan untuk bertahan. Sebagian lainnya, termasuk saya, pergi. Saya mengikuti Fabio Capello ke Real Madrid,” ucap Cannavaro.

Eksodus para pilar kala itu juga meliputi Zlatan Ibrahimovic yang hijrah ke Inter bersama Patrick Vieira, Thuram dan Gianluca Zambrotta yang merapat ke Barcelona, serta Adrian Mutu yang terbang ke Fiorentina.

Pendek kata, Juve ibarat sudah terjatuh dan tertimpa tangga.

Namun, sebagian memilih tetap membela panji Si Nyonya Tua. Termasuk sang kapten Del Piero, Buffon, Pavel Nedved, David Trezeguet, dan Camoranesi.

Begitu pula pemain yang tengah naik daun kala itu seperti Giorgio Chiellini, Federico Balzaretti, Claudio Marchisio, dan Sebastian Giovinco.

Keberhasilan manajemen Juve menahan Buffon cs. menjadi titik awal dari upaya bangkit setelah hukuman demosi ke Serie B. Langkah pertama dari perjalanan panjang satu dekade, yang akhirnya mampu mengangkat kembali I Bianconeri ke level teratas Benua Biru.

Ada tiga langkah lanjutan, dan semuanya berjalan beriringan, yang membuat Juve bisa melakoni come back. Penunjukan pelatih, aksi cermat di lantai bursa pemain, dan keputusan untuk membangun stadion milik sendiri.

Faktor terakhir boleh jadi yang terpenting karena memungkinkan dua faktor lainnya terealisasi.

Empat musim awal sejak kembali promosi berlalu dengan catatan kurang impresif.

Publik Juve menjuluki rentang ini sebagai periode gersang. Penyebabnya tak lain adalah belum munculnya sosok pelatih yang tepat, meski deretan Claudio Ranieri, Ciro Ferrara, Alberto Zaccheroni, hingga Luigi Delneri, sudah coba dihadirkan.

Sementara itu, pada diri Pirlo, Juve tak mendapat gelandang tua berusia 32 tahun, tapi salah satu playmaker terbaik dunia karena dipegang dengan baik.

Pada musim panas 2011, kepingan demi kepingan mulai tersusun. Juventus Stadium, yang memungkinkan Juve terbebas dari biaya sewa stadion, mulai beroperasi, sehingga alokasi dana mulai bisa dialihkan ke pembelian pemain berkualitas.

Antonio Conte datang dengan visi anyar dan Andrea Pirlo mendarat dari AC Milan.

Pada diri Conte, yang baru memberikan promosi bagi Siena, Juve mendapatkan pelatih muda penuh gairah. Bukan lagi peracik strategi yang mulai memasuki usia senja.

Sementara itu, pada diri Pirlo, Juve tak mendapat gelandang tua berusia 32 tahun, tapi salah satu playmaker terbaik dunia karena dipegang dengan baik.

Musim tersebut, yang dimulai dengan tiga keputusan tepat, adalah awal dari apa yang bisa kita lihat sekarang. Juve tak hanya meraja di Serie A, tapi juga mulai disegani di Eropa. Loyalitas Buffon cs. di 2006 menyelamatkan klub.

Masuknya Conte dan Pirlo menandai fase akhir dari pembangunan klub pascaskandal calciopoli.

Keputusan demi keputusan, baik dari aspek teknis, taktis, manajerial, maupun ekonomi, nyaris tak pernah meleset. Setelah satu dekade, klub yang tertimpa krisis identitas, menjelma menjadi klub bertabur sukses.

[video]http://video.kompas.com/e/5187990644001_v1_pjuara[/video]


Editor : Firzie A. Idris
Sumber : Tabloid BOLA No.2.711


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

TERPOPULER

Close Ads X