Liga Super China, Langka di antara Miliaran Orang

By Jumat, 3 Maret 2017 | 20:20 WIB
Pemain Liaoning Whowin, Liu Shangkun (kanan), berebut bola dengan  gelandang Ajax Amsterdam, Schone Lasse, dalam laga uji coba di Shenyang, pada 18 Mei 2016.
AFP
Pemain Liaoning Whowin, Liu Shangkun (kanan), berebut bola dengan gelandang Ajax Amsterdam, Schone Lasse, dalam laga uji coba di Shenyang, pada 18 Mei 2016.

Pada pertengahan pekan ini, Ryan Giggs menyuarakan keresahan melihat banyaknya manajer dari luar Britania di Premier League. Inggris bukan satu-satunya negara menyaksikan pelatih lokal bukan pilihan utama.

Penulis: Christian Gunawan

Di timur Asia, China, negara dengan jumlah penduduk terbanyak di muka bumi, juga mengalami hal serupa dalam sepak bolanya. Dari 16 klub peserta Chinese Super League (CSL), hanya tiga klub yang memakai manajer China, itu pun bukan klub papan atas.

Peringkat ke-10 pada musim 2016, Liaoning Whowin, dilatih Ma Lin. Sosok berusia 54 tahun itu memasuki tahun ketiganya di klub asal Shenyang itu setelah direkrut kembali untuk kali ketiga.

Sudah dua kali Ma Lin menangani Liaoning. Yang pertama pada 2003/04, setelah naik pangkat dari asisten pelatih Dimitar Penev. Kendati menaikkan peringkat klub dari keenam menjadi keempat dalam dua musim, Ma didepak.

Masa jabatan kedua terjadi pada 2008-13 usai menggantikan Werner Lorant. Semusim kemudian, Ma Lin membawa kembali klub Shenyang itu berpromosi usai menjadi juara League One 2009.

Setelah menjadi bos interim Dalian Aerbin, Ma kembali ke klub yang ia bawa enam kali juara Liga China dan juara Asia 1990 saat masih membela klub itu sebagai striker.

Ya, selain persoalan biaya, boleh jadi alasan Liaoning bertahan dengan Ma Lin adalah karena balas jasa. Imbasnya, papan tengah mungkin sudah merupakan tempat yang memuaskan.

Jia Xiuquan pernah bermain di Serbia dan Jepang. Namanya sudah lebih dulu harum di China sebagai penyerang tajam kala memperkuat Bayi. Namun, karier kepelatihannya beredar di sekitar tim-tim gurem, sampai akhirnya melatih Shanghai Shenhua.

Jia berhasil membawa klub itu runner-up 2008. Penurunan semusim kemudian, hanya di peringkat kelima, memudahkan Shanghai mendepak pria asal Dalian itu.

Jia juga diganggu tuduhan suap pengaturan hasil pertandingan. Sempat dibui, tuduhan itu dicabut pada Maret 2010. Kariernya pulih pada 2014 setelah didapuk melatih Henan Jiaye.

Klub itu sempat mencapai peringkat kelima pada akhir 2015, tapi musim lalu kembali ke paruh bawah klasemen (posisi ke-13), tak jauh berbeda seperti musim pertama Jia (14).

Pelatih China ketiga di CSL, Li Bing, menangani Guizhou Hengfeng Zhicheng. Klub Kota Guiyang ini akan melakoni musim perdana usai berpromosi di bawah arahan Li.

Pelatih berumur 47 tahun itu pernah juga mengirim Chengdu Blades naik ke divisi teratas pada 2007. Walau berprofil semenjana, Guizhou berharap Li akan membuat kejutan besar.

Empat Korsel

Mempertegas kekurangpopuleran pelatih lokal, empat klub malah lebih percaya kepada manajer asal Korea Selatan.

Choi Yong-soo menyodorkan curriculum vitae yang menarik Jiangsu Suning. Ia membawa FC Seoul juara Liga Korsel dan Piala FA Korea 2015 plus runner-up Liga Champion Asia 2013. Runner-up tahun lalu, Jiangsu, juga membuat pamor Choi semakin bagus di CSL.


Manajer FC Seoul, Choi Yong-Soo, saat mendampingi timnya menghadapi klub Iran, Esteghlal, dalam laga semifinal Liga Champions Asia di Stadion Azadi, Teheran, pada 2 Oktober 2013.(BEHROUZ MEHRI/AFP)

Chang Woe-ryong, yang membawa Chongqing Lifan finis di posisi kedelapan musim lalu, dua kali runner-up K-League dengan dua tim berbeda (Busan Daewoo Royals 1999 dan Incheon United 2005).

Profil Park Tae-ha boleh jadi yang paling rendah. Yanbian Funde mungkin berutang budi kepada eks sayap itu setelah memberikan promosi di akhir 2015. Torehan Park di musim perdananya di CSL terbilang lumayan. Yanbian finis di posisi kesembilan CSL 2016.

Lee Jang-soo boleh jadi yang paling mengesankan. Di tangannya, Seongnam Ilhwa Chunma menjuarai Liga Champion Asia 1995/96 dan Piala Super Asia 1996. Di Korsel, trofinya bertambah dengan Piala Liga 2006 bersama FC Seoul.

Pria berusia 60 tahun ini juga telah mengecap kesuksesan di Negeri Tirai Bambu di sejumlah klub. Chongqing Lifan meraih Piala FA China 2000, begitu juga Qingdao Beilaite pada 2002.

Di bawah arahannya, Guangzhou Evergrande berpromosi ke CSL usai menjuarai League One China 2010. Di musim pertama usai naik divisi, Evergrande menaklukkan CSL.

Setelah memberikan Piala Super China 2012, Lee digantikan Marcello Lippi. Dua tahun berselang, pria asal Gyeongnam ini melatih Chengdu Tiancheng, sebelum Changchun per Januari 2016.

Peringkat ke-12 Changchun musim lalu mungkin membuat kursi Lee semakin panas. Namun, bukan berarti pelatih lokal akan mudah menggantikan posisinya. Pelatih China bak tamu di sepak bolanya sendiri.

 


Editor : Estu Santoso
Sumber : Tabloid BOLA No. 2.746


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X