Sorot Barcelona, Jarak Mengikis Dominasi

By Rabu, 8 Maret 2017 | 11:14 WIB
Gelandang Barcelona, Xavi Hernandez, diarak oleh rekan setimnya di penghujung laga lanjutan La Liga 2014-2015 melawan Deportivo La Coruna di Stadion Camp Nou, Barcelona, pada 23 Mei 2015.
ALEX CAPARROS/GETTY IMAGES
Gelandang Barcelona, Xavi Hernandez, diarak oleh rekan setimnya di penghujung laga lanjutan La Liga 2014-2015 melawan Deportivo La Coruna di Stadion Camp Nou, Barcelona, pada 23 Mei 2015.

Tepat satu dekade berlalu sejak Barcelona terakhir kali gagal melaju ke perempat final Liga Champion. Kala itu, Liverpool menjadi tim yang memastikan langkah Barca terhenti di babak 16 besar setelah keduanya berbagi skor agregat 2-2.

Penulis: Sapto Haryo Rajasa

The Reds didaulat sebagai pemenang menyusul sepasang gol yang diciptakan Craig Bellamy dan John Arne Riise di Camp Nou pada leg I.

Upaya bangkit Barca di leg II saat ganti menyambangi Anfield hanya terwakili oleh gol tunggal Eidur Gudjohnsen.

Dalam rentang 10 musim ini, tak ada satu pun tim yang mampu menorehkan catatan seimpresif milik Barca berupa tiga titel juara, empat lakon di semifinal, dan dua penampilan di perempat final, Real Madrid sekalipun, yang meraih dua gelar juara, empat laga di semifinal, dan tiga aksi di 16 besar.

Kendati demikian, di saat Madrid berpotensi meneruskan tren positif mereka hingga pengujung musim 2016/17, Barca justru berada di ambang pintu keluar.

Baca Juga: 

 

Penyebabnya tak lain adalah kekalahan 0-4 di pertemuan pertama 16 besar ketika bertamu ke rumah Paris St. Germain.

Sepanjang sejarah LC tak pernah ada bentuk comeback sukses dari posisi defisit empat gol tanpa balas.

Jika mampu melakukan misi mustahil ini, Barca jelas akan menjadi yang pertama.

Luis Enrique sebagai arsitek pun akan terhindar dari predikat pelatih yang gagal meloloskan timnya ke perempat final dalam periode 10 tahun terakhir.

Terlepas dari apa pun hasilnya nanti, bisa dipastikan publik akan melakukan komparasi langsung atas kedua generasi yang terpaut satu dasawarsa itu. Baik itu letak persamaan maupun perbedaan.

Entah itu aspek permainan, strategi pelatih, hingga efek transfer di musim panas dan musim dingin. Well, ada baiknya kita simak perbandingannya sehingga bisa mencari tahu di mana saja letak perbedaannya.

STARTING XI BARCELONA 2006/07

1-Valdes (K); 11-Zambrotta, 5-Puyol, 4-Marquez, 21-Thuram (B); 20-Deco, 6-Xavi, 24-Iniesta (G); 19-Messi, 9-Eto’o, 10-Ronaldinho (P). Pelatih: Frank Rijkaard (Bld)

Gaya Bermain

Mengedepankan penguasaan bola dengan Xavi Hernandez sebagai motor penggerak utama tim. Xavi bertindak sebagai dirigen dari orkes indah Barca.

Di bawah kendalinya, seluruh pemain tahu kapan harus menekan pedal gas dan kapan harus menginjak pedal rem.

Jarak antarpemain masih sangat rapat, sehingga memungkinkan distribusi bola mengalir nyaris tanpa putus.

Kondisi ini bisa dieksekusi karena trio di tengah (Xavi-Deco-Iniesta) dikaruniai kapabilitas memegang bola di atas rata-rata. Para pemain depan pun memiliki kemampuan bertahan yang cukup baik.

Frank Rijkaard sebagai pelatih lebih berani mengambil keputusan di saat tim mengalami kebuntuan.

Ini bisa dilihat dari distribusi jam terbang yang cukup banyak bagi Eidur Gudjohnsen, Ludovic Giuly, bahkan Javier Saviola, selain bagi trio utama (Eto’o-Ronaldinho-Messi).

STARTING XI BARCELONA 2016/17


Lionel Messi merayakan golnya saat Barcelona menang 5-0 atas Celta Vigo di Stadion Camp Nou, Sabtu (4/3/2017).(LLUIS GENE/AFP)

1-Ter Stegen (K); 20-Sergi Roberto, 3-Pique, 14-Mascherano, 18-Alba (B); 4-Rakitic, 5-Busquets, 8-Iniesta (G); 10-Messi, 9-Suarez, 11-Neymar (P). Pelatih: Luis Enrique

Gaya Bermain

Mulai meninggalkan dominasi penguasaan bola. Selain karena sudah tak memiliki Xavi Hernandez yang bisa mengatur ritme, Barca juga tak punya trio paten dan bugar sekaliber Deco dan Iniesta di lini tengah.

Ivan Rakitic, Andre Gomes, Denis Suarez, atau Rafinha belum bisa mengimbangi kualitas Sergio Busquets dalam hal ini.

Dibandingkan era Rijkaard, Barca di bawah Luis Enrique jauh lebih tajam. Jumlah gol terbanyak di era Rijkaard hanya menyentuh 80 gol (La Liga 2005/06), sedangkan dua musim perdana Enrique di La Liga (2014/15 dan 2015/16) mampu menghasilkan 110 dan 112 gol.

Lantaran kedahsyatan trisula Messi, Suarez, dan Neymar, Enrique menciptakan gaya yang lebih direct, di mana bola lebih sering disuplai langsung oleh barisan lini belakang.

Gol dengan derasnya mengalir berkat kecepatan lari trio MSN. Namun, imbas negatifnya, Enrique menjadi kurang berani memasang pemain pengganti.


Editor : Firzie A. Idris
Sumber : Tabloid BOLA No. 2.748


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X