Kisah Bonek dan Masa Sulitnya Ketika Menjalani Hari-hari yang Penuh Kekerasan

By Intisari Online - Senin, 11 Juni 2018 | 19:52 WIB
       Koreografi Bonek di Stadion Gelora Bung Tomo saat laga Persebaya Vs Arema FC pada Minggu (6/5/2018) sore WIB
TB KUMARA/BOLASPORT.COM
Koreografi Bonek di Stadion Gelora Bung Tomo saat laga Persebaya Vs Arema FC pada Minggu (6/5/2018) sore WIB

Fanatisme dan dedikasi suporter militan Indonesia bernama 'Bonek' dalam melawan kehidupan keras yang pernah dilaluinya.

Intisari-online.com - Bonek merupakan salah satu suporter paling fanatik di Indonesia, yang berasal dari Surabaya.

Namanya menggema, di seluruh penjuru Indonesia, bahkan orang awam yang tak tahu sepak bola pun mengetahui nama 'Bonek'.

'Bonek' begitu nama sapaan ini, adalah istilah yang mengacu pada massa pendukung Persebaya, klub yang didirikan pada tahun 1927, di Surabaya.

Rupanya nama Bonek bukan hanya sampai di telinga orang Indonesia saja, gaung namanya menggema dan disorot secara Internasional ketika sebuah laporan Jurnalis mengungkapkan kehidupan keras, dan saat-saat berbahaya yang dilalui Bonek.

Melansir Shootfarken kisahnya terjadi pada 2017 silam, kala itu peluncuran kembali Liga Sepak Bola Indonesia, Go-jek Traveloka melihat kembalinya Persebaya setelah beberapa tahun tidak bermain.

Ini adalah perjuangan pendukung yang mengampanyekannya di jalan-jalan kota pelabuhan Surabaya, dan tentu saja juga melalui kampanye media sosial, di mana para penggemar memperkuat serangan mereka untuk melawan PSSI.

Pengembalian Persebaya membawa kembali sejarah dan budaya sepakbola yang telah lama hilang dari Divisi II, Persebaya dianggap sebagai klub paling ikonik di negara ini, meskipun sejarahnya baru-baru ini bermasalah.

Warkop Pitulikur adalah kafe terbuka yang sederhana di sisi jalan yang sibuk dan berdebu, di pusat kota Surabaya, buka 24 jam sehari, dan merupakan titik pertemuan untuk puluhan ribu penggemar Persebaya di Surabaya, menurut laporan jurnalis Andy Fuller.

Dalam perjalananya ke Surabaya, Andy mengungkapkan banyak hal tentang Bonek, sejarah dan fanatisme sebagai salah satu suporter di Indonesia.

Ketika, Football fandom diperebutkan, Persaingan ketat tidak hanya ada di antara pendukung tim yang berbeda, tetapi di antara pendukung tim yang sama, bahkan dengan pemilik klub sekalipun. 

Para pendukung ultras klub, sering berada dalam kondisi memanas dan bersitegang dengan pemilik klub mereka, sekalipun.

Persebaya sebelumnya dimiliki secara pribadi oleh grup media Jawa Pos, sebelum akhirnya berpindah ke pemilik baru bernama Azrul Ananda, namun Bonek dapat mengklaim 'kepemilikan' dari klub melalui aktivisme lama mereka dalam membentuk budaya klub dan atmosfir stadion. 

Situs web seperti Green Nord 27 dan Emosi Jiwaku yang diluncurkan, dan akun twitter yang tak terhitung jumlahnya, merupakan kesaksian para penggemar dalam mempromosikan dan menjelajahi lintasan klub.

Ketegangan antara penggemar berkisar pada kesetiaan kepada Klub, dan metode bagaimana kesetiaan itu diekspresikan. 

Menjadi penggemar klub sepak bola yang sama memberikan ekspresi persatuan di antara penggemar latar belakang sosial yang berbeda, komunitas yang rapuh dan rentan isu-isu bersifat provokatif. 

Persatuan penggemar Persebaya, yang mungkin merupakan yang terbesar di antara klub-klub Indonesia, luar biasa dan tidak hanya tingkat investasi emosional mereka, tetapi juga untuk persatuan mereka.

Sepanjang masa pengasingan tim mereka, Bonek berjuang keras melawan birokrasi sepakbola nasional (PSSI) dan dunia (FIFA), Kampanye ini dipimpin oleh Andie Peci salah satu dedengkot Bonek.

"Sangat sedikit penggemar yang membawa bekas luka sebagai bukti dedikasi dan dukungan mereka bukan hanya untuk klub mereka, tetapi juga untuk sesama pendukung mereka." ungkap Andie Peci dalam tulisan Andy Fuller.

Andie Peci, adalah aktivis, juru bicara dan perwakilan Bonek legendaris dari Surabaya, membawa bekas luka besar di siku kirinya di mana dia diserang dengan pisau karena berdiri di hadapan mafia dan milisi sepak bola yang terlibat dalam sepak bola Indonesia.

"Andie memiliki bingkai kecil, dan tatapan baja, dia tidak mudah menderita ketika melihat lintasan Klub dalam jangka panjang." ungkap Andy Fuller

"Memenangkan dan kehilangan adalah hal-hal penting baginya dan tidak diragukan lagi, tetapi  kelangsungan hidup Klub dan etika kelompok pendukungnya, Bonek, jauh lebih penting." tambahnya.

"Peci menolak pengakuan formal, gelar atau kepemimpinan, menegaskan etos egaliter dari kedua kota dan Bonek sendiri. Namun, Peci, adalah Bonek yang paling mudah diidentifikasi dengan perlawanan terhadap PSSI dan korupsi liga nasional." tulis Andy Fuller.

Istilah 'Bonek' berasal dari 'bondo nekat'yang artinya 'bermodal nekat', yang secara kasar bisa diterjemahkan 'tidak memiliki apa-apa selain nyali'. 

Bonek, di masa lalu, diketahui telah melakukan perjalanan jauh untuk memberikan dukungan tim, bahkan dilakukan tanpa uang untuk makan, akomodasi atau membawa tiket.

Jadi, mereka akan menumpang, menjarah kios-kios jalanan dan masuk ke stadion dengan memanjat pagar. 

Andy Fuller Juga menggatakan "Banyak dari Bonek yang miskin dan menganggur, namun memberi mereka semua memberi dukungan mereka terhadap tim; mereka akan melakukan apa pun untuk menonton tim mereka bermain."

"Dan, mereka adalah kelompok pendukung pertama di Indonesia yang melakukan perjalanan jarak jauh untuk menonton tim mereka." tutupnya.


Editor : Nugyasa Laksamana
Sumber : Intisari Online


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X