Tiru NBL Indonesia, Copy, Paste, dan Laksanakan

By Eko Widodo - Sabtu, 26 April 2014 | 16:39 WIB
Kompetisi Speedy NBL Indonesia sudah berlari cepat dan terarah. (Fernando Randy/BOLA)

Sebuah editorial di koran New York Times berbunyi cukup menarik. "Dunia bisnis belajar banyak dari dari contoh kesempurnaan olah raga. Atlet bintang senantiasa datang dan pergi. Sebuah organisasi yang solid, tetap selalu solid meskipun ditinggalkan bintang terhebat mereka. Membuat organisasi yang benar dan konsisten jauh lebih powerful dari bintang olah raga terhebat manapun."

Adalah empat sekawan yang menemukan teori Peak Performance Organization (PPO). Tiga akademisi dari Selandia Baru, dan satu praktisi swasta. Mereka menulis buku "Peak Performance - Inspirational Business Lessons from the World's Top Sports Organizations". Buku itu dicetak 14 tahun lalu.

Tiga akademisi itu adalah Clive Gilson, Mike Pratt, dan Kevin Roberts. Ketiganya profesor di Waikato Management School, Universitas Waikato, Selandia Baru. Satu lagi, Kevin Roberts, adalah CEO Saatchi & Saatchi Advertising.

Mereka membedah dan menemukan kunci sukses organisasi olah raga papan atas dunia seperti tim sepak bola putri AS yang jadi juara dunia. Organisasi lain yang mereka bongkar habis-habisan dengan konsep PPO adalah Bayern Muenchen, New York Yankees, tim F1 Williams, Chicago Bulls, San Francisco 49ers, Atlanta Braves, dan tim rugbi Selandia Baru.

Intinya, teori penampilan puncak organisasi itu adalah cara dari sebuah organisasi olah raga untuk mengatur penampilan puncak. Penampilan puncak yang dimaksud adalah tujuan mengapa organisasi itu dibuat. Masing-masing organisasi memiliki tujuan sendiri-sendiri dan cara mencapainya pun unik.

Organisasi olah raga itu dihuni oleh manusia dengan berbagai latar belakang karakter yang dimiliki. Organisasi yang sukses itu selalu ada tokoh inspiratif (inspirational player). Mengutip dari buku itu, empat elemen dalam PPO adalah purpose, practice, potency, dan performance.

Purpose (tujuan) meliputi mimpi yang menantang, impian inspiratif, dan fokus. Practice mencakup creating the future dan membagi mimpi dengan orang lain. Potency melingkupi harmoni pengelola dan pelaku, gairah (passion), dan liku-liku tindakan (flow). Sedangkan performance meliputi detil sesuai perkembangan terakhir, break down ideide cemerlang, dan pengelolaan manajemen.

Apakah keberhasilan Chicago Bulls mendapatkan enam cincin juara NBA hanya karya seorang megabintang Michael Jordan? Tidak. Jordan adalah pemain inspiratif, namun otak dari semua pengaturan organisasi brilian di Chicago Bulls adalah Steve Schanwald. Schanwald adalah tokoh inspirational di sektor bisnis dan manajemen Bulls. Ia bergabung sejak musim 1986-87.

Prestasi nyata Schanwald, ia sukses menjual habis (sold out) 610 gim kandang di United Center secara berturutan dari 1987 sampai November 2000. Bulls memainkan 41 laga kandang dari 82 jadwal tanding kompetisi reguler. Jumlah itu terlama ketiga dalam sejarah penjualan tiket di NBA.

Dalam 610 laga itu, total karcis yang terjual 12.400.000. Peringkat pertama Portland, 814 gim berturut, jumlah tiket terjual 10.370.360. Sedangkang peringkat kedua, Boston Celtics dengan 662 gim, tiket yang terjual 9.857.180.

Dalam daftar 50 waralaba olah raga tersukses di dunia versi majalah Forbes di tahun 2013, Chicago Bulls masih masuk daftar 50 besar, walau mereka tak lagi memiliki Michael Jordan!

Empat Besar Speedy NBL Indonesia

Sampai seri kelima Speedy NBL Indonesia musim 2013/14 di Gedung Basket Hall A, Senayan, Gelora Bung Karno, Jakarta, empat besar sulit digeser dari Satria Muda Britama, Pelita Jaya Energi MP, CLS Knight, dan M88 Aspac.

Dalam babak championship games kontestan yang selalu hadir (3 kali) adalah Aspac dan Pelita Jaya. SM absen pada 2013 sementara CLS di 2012. Garuda 2 kali hadir di 2012 dan 2013. Stadium tampil sekali di 2013. Garuda dan Stadium masih berpeluang tampil di empat besar championship sebab berada di peringkat kelima dan keenam.

Mengapa hanya keenam tim itu saja yang pernah tampil ke babak empat besar championships? Khususnya empat besar, masing-masing tim memiliki tokoh sentral, baik di manajemen maupun pemain. Dari sisi pemain, Pelita memiliki Kelly Purwanto, Aspac punya Xaverius Prawiro, CLS ada Rahmad Febri, dan SM Britama ada Ronny Gunawan.

Dari sosok berpengaruh di luar pemain, Aspac memiliki owner sepanjang masa Irawan Haryono, CLS Christopher Tanuwijaya, Pelita ada Syailendra Bakrie, dan SM Britama ada sosok Erick Thohir. Jadi kalau empat besar sulit dilepaskan dari empat tim itu, karena mereka memenuhi syarat penampilan puncak organisasi olah raga (PPO).

Pemain inspiratif biasanya memegang kendali di sebuah organisasi. Irawan adalah pengontrol tim Asaba, ketika berubah nama menjadi Aspac di tahun 1994. Syailendra Bakrie adalah putra Indra Bakrie, yang memegang kendali Pelita Jaya di era 1990an.

Di CLS, Christopher menjadi tokoh sentral transformasi sejak terjadi perubahan pengelolaan dari Yayasan CLS yang cenderung konservatif. Satria Muda ditake over dari pemilik lama Doedie Gambiro ke Yayasan Dharma Bakti Mahaka, yang salah satu pendirinya adalah Erick Thohir pada 1999. Satria Muda langsung menjadi juara di tahun pertama pergantian pemilik itu.

Jadi, tim di luar empat besar itu apakah harus mengikuti cara mereka agar terus survive dan bisa memiliki peluang juara? Saya katakan ya. Teori PPO sudah diuji ke organisasi olah raga besar dan terbukti elemen-elemen teori PPO dipenuhi oleh tim-tim itu.

Organisasi Speedy NBL Indonesia

Jauh sebelum Speedy NBL Indonesia resmi diluncurkan untuk kemajuan bola basket Indonesia, buku tentang penampilan puncak organisasi olah raga sudah dibuat. Kompetisi bola basket pelajar SMA, DBL Indonesia, bahkan lahir lebih dulu 11 tahun lalu. Apakah mereka membangunnya mengacu pada teori PPO itu?

Saya yakin tidak. Ketika dikonfirmasi ke komisioner Azrul Ananda, ia membuat kompetisi antar SMA modalnya adalah nekat dan keringat. "Kaos panitia sampai berubah warna, dari putih ke abu-abu," ucap Azrul, di beberapa kesempatan ngobrol.

Justru dari nekat itulah muncul mimpi yang menantang, impian inspiratif, dan fokus. Pengalaman mengelola DBL Indonesia memunculkan pengalaman sangat berharga menghadapi market bola basket. Mimpi pun dibagi ke masyarakat olah raga Indonesia dengan menerima kontrak PP Perbasi untuk mengelola kompetisi NBL Indonesia.

Karena memiliki tim solid dalam satu atap di Surabaya, fokus DBL Indonesia terus terjaga dalam mengelola kompetisi pelajar maupun profesional. Manajemen yang solid itu ternyata kembali dibawa mengelola asosiasi pemilik klub Speedy NBL Indonesia (Dewan Komisaris). Organisasi kolektif kolegial yang selama ini hanya pepesan kosong, ternyata di tangan NBL Indonesia berubah menjadi organisasi yang kondusif.

Dewan Komisaris diajak bersama-sama memikirkan apa yang terbaik untuk kemajuan organisasi. Ini namanya proses transfer knowledge. Yang menarik lagi, Komisioner bukanlah pengambil veto dari semua keputusan yang dipandang tidak menguntungkan pengelola, melainkan sebagai mitra kolektif kolegial. Selain suara dari 12 tim, 1 suara lagi untuk Komisioner.

"Posisi saya tidak seperti David J. Stern, eks komisioner NBA, yang mempunyai hak veto untuk keperluan bisnis NBA dan pengelola. Saya menjadi mitra dan pemilik suara ke-13 ketika terjadi deadlock. Apalagi saya tidak ada kepentingan pribadi sebab tidak punya klub. Perlahan-lahan, untuk komisaris yang wawasan bisnis olah raganya tidak terlalu kental, kita buat agar lebih kental dan lebih memahami," tambah Azrul.

Hasilnya memang positif. Jarang terdengar ada friksi. Ada sih oposisi di Dewan Komisaris namun masih kondusif dan saling membangun. Peraturan tegas seperti denda dan sanksi juga dibuat oleh klub sendiri.

Jadi, sebenarnya praktik manajemen dan elemen teori penampilan puncak organisasi olah raga (PPO) sudah dipenuhi, walau level kecanggihannya masih belum terlalu tinggi.

Oh ya, apa yang dilakukan oleh 12 klub Speedy NBL Indonesia plus pengelola dari NBL Indonesia itu adalah baru fondasi dari piramida sembilan pilar pembangunan olah raga prestasi di sebuah negara, khususnya dari cabang bola basket, seperti yang ditulis Veerle De Bosscher dkk. dalam jurnal "A conceptual Framework for Analysing Sports Policy Factors Leading to International Sporting Success (tahun 2006).

Untuk kemajuan olah raga Indonesia, bola basket sudah memberikan sumbangsihnya lewat NBL Indonesia. Minimal, untuk organisasi olah raga selain bola basket yang masih kebingungan mencari model pengelolaan kompetisi berpotensi make money, tidak usah bingung lagi, sudah ada contoh nyata di depan mata.

Copy, paste, dan laksanakan!

Data Empat Besar Championships
2010-2011: 1. SM Britama Jakarta, 2. CLS Knight Surabaya, 3. Pelita Jaya Energi MP Jakarta, 4. Dell Aspac Jakarta.
2011-2012: 1. SM Britama Jakarta. 2. Dell Aspac Jakarta, 3. Pelita Jaya Energi MP, 4. Garuda Kukar
2012-2013: 1. Dell Aspac Jakarta, 2. Pelita Jaya Energi MP, 3. Garuda Kukar Bandung, 4. Stadium Jakarta
2013-2014: empat besar reguler, CLS Knight, SM Britama, M88 Aspac Jakarta, Pelita Jaya Energi MP (sampai Sabtu, 26 April)