Manajer Kelas Dunia di Liga Super China, Harus Bertangan Dingin

By Kamis, 2 Maret 2017 | 23:20 WIB
Mantan pelatih Manchester City, Manuel Pellegrini, saat tiba di pengudian turnamen Copa Sudamericana di Santiago, Cili, pada 12 Juli 2016. Manuel Pellegrini, pernah merasakan dipecat Madrid kendati melakoni start secara meyakinkan. (CLAUDIO REYES/AFP)

Liga Super China kini menghadirkan bintang-bintang dunia. Tangan berkelas dunia dibutuhkan pula untuk menangani mereka. Bayaran tinggi dari liga yang berambisi tinggi ini tentu menjadi pendorong bagi arsitek-arsitek ternama itu.

Penulis: Christian Gunawan

Pemilihan manajer dengan reputasi tinggi adalah konsekuensi meroketnya pamor Chinese Super League (CSL) seturut melonjaknya modal untuk membangun tim. Gaji tinggi para manajer top setara tugas berat di liga yang tengah menggeliat ini.

Karena itu, tak mengherankan bila CSL dipenuhi manajer-manajer bagus.

Persaingan di antara mereka menjadi daya tarik tersendiri. Adu taktik dan pengaruh mereka terhadap tim, terutama para pemain bintang, menjadi hal yang juga dinanti dari CSL.

Luiz Felipe Scolari, pelatih Guangzhou Evergrande Taobao, sukses membawa klubnya menjuarai Liga Super China musim silam. Trofi itu menambah panjang perolehan Felipao, Si Felipe Besar, dalam dunia kepelatihan yang sudah ia geluti sejak 1982.

Baca Juga: Silakan Hengkang, Arsene Wenger!

Reputasi bagus tak didapatkan Scolari dalam waktu singkat. Ia memang gagal membawa Brasil menjadi juara dunia lagi di 2014 seperti saat ia melatih pada 2002.

Sebelum mencuat di Korea-Jepang 2002 itu, Big Phil mengangkat Gremio menguasai Brasil dan Amerika Selatan.

Setelah Gremio, Palmeiras yang menjadi juara Copa Libertadores. Catatan kesuksesannya bisa diperpanjang sampai juara Liga Uzbekistan 2009 bersama Budnyokor atau Piala Teluk 1990 bersama timnas Kuwait.

Guangzhou tentu telah memperhitungkan pengaruh kehadiran sosok berusia 68 tahun itu di dalam tim.

Felipao terbukti berhasil mengangkat kubu beralias Southern China Tigers itu mempertahankan gelar setelah datang menjadi pengganti di pertengahan musim 2015.

Pelatih sebelumnya, Fabio Cannavaro, hampir membuat musim itu berjalan buruk buat Evergrande.

Eks bek tengah itu gagal meneruskan tiga gelar CSL buat Guangzhou yang dipersembahkan bos sebelumnya, Marcello Lippi.

Pada akhirnya, pengganti manajer sekelas Lippi harus dengan level yang sama. Selain dua gelar domestik di dua musim terakhir, plus Piala FA China tahun lalu, Scolari juga meraih Liga Champion Asia 2015, trofi yang diberikan Lippi dua tahun sebelumnya.

Scolari pernah mengalami kegagalan. Selain di Brasil 2014 dan Euro 2004 kala melatih Portugal, Felipao juga dianggap gagal kala membesut Chelsea pada 2008-2009. Namun, ia tidak sendirian.

Kolega mudanya, Andre Villas-Boas, juga dipecat klub London itu tiga tahun setelah Felipao.

Bagaimanapun, AVB, yang berusia 39 tahun, menjanjikan persaingan buat Scolari, yang lebih tua 29 tahun. Musim 2017 akan menjadi musim penuh pertama pria Portugis di Shanghai SIPG.

Pelatih yang sempat dianggap penerus Jose Mourinho usai mereguk kesuksesan bersama Porto itu baru datang ke Shanghai pada November menggantikan Sven-Goran Eriksson.

Musim silam, klub berjulukan Elang Merah itu mungkin menganggap peringkat ketiga sebagai kegagalan, terutama karena keberadaan bintang seperti Hulk.

Kolaborasi AVB dengan penyerang Brasil itu seperti saat menjuarai Liga Rusia 2014/15 bersama Zenit St. Petersburg berpeluang menghentikan deret gelar Guangzhou.

Baca Juga:

Walau begitu, mungkin mudah menyebut CSL sebagai liga penampung pelatih-pelatih buangan dari Eropa. Penghapusan label itu akan tergantung kiprah para pelatih yang dimaksud.

Kontrak Manuel Pellegrini diputus Manchester City pada Mei 2016 untuk memberikan ruang bagi Pep Guardiola.

Padahal, pelatih asal Cile ini telah mempersembahkan gelar juara Premier League 2013/14 dan dua Piala Liga buat City dalam tiga tahun pengabdiannya.

Hebei China Fortune mendatangkannya untuk menggantikan Li Tie pada pertengahan musim lalu. Hebei hanya finis di peringkat ketujuh, sehingga musim 2017 menjanjikan hal yang berbeda pada musim penuh pertama AVB.

Juara di liga papan atas Eropa juga menjadi nilai tinggi Felix Magath.

Eks gelandang itu mengalami dua gelar Bundesliga saat menangani Bayern Muenchen. Namun, kiprah terbaiknya terjadi saat mempersembahkan trofi Bundesliga untuk klub semenjana, Wolfsburg, pada 2008/09.

 

Magath tak pernah meraih gelar lagi di beberapa klub berikutnya, termasuk Wolfsburg pada kedatangan keduanya (2011-2012).

Pria berusia 63 tahun itu dipecat Fulham karena tak cuma gagal menyelamatkan Fulham dari relegasi, tapi juga gagal mendongkrak performa klub London itu di Championship Division.

Shandong Luneng menggaetnya pada medio 2016, mengisi tempat yang ditinggalkan Mano Menezes. Shandong mengakhiri musim di posisi ke-14, satu anak tangga di atas zona degradasi.

Walau pernah mengangkat klub gurem, Magath mungkin akan didepak lagi kalau Shandong tak beranjak dari papan bawah.

Selain empat pelatih berprestasi tersebut, CSL juga diwarnai sejumlah nama tenar. Cannavaro masih diminati karena reputasi bagusnya saat bermain.

Ia mesti melesatkan klub promosi, Tianjin Quanjian, demi kariernya sendiri. Dua mantan gelandang jempolan, Gus Poyet dan Dragan Stojkovic, memiliki beban pula di tim masing-masing.

Bisa-bisa mereka kalah bersaing dari Jaime Pacheco.

Nama yang terakhir disebut ini mampu mengantar Boavista mencetak sejarah: menjadi juara Liga Primeira Portugal 2000/01.

Boavista hanya yang kedua dari kelompok di luar tiga besar (Benfica, Porto, dan Sporting) yang bisa menjadi kampiun setelah Belenenses 1945/46.

Rivalitas para manajer akan menjadi daya tarik tersendiri dari Chinese Super League.